Apa itu Zakat Perdagangan?

Perdagangan merupakan suatu bentuk usaha untuk memperoleh keuntungan dengan cara jual-beli. Harta perdagangan adalah segala sesuatu yang memiliki tujuan untuk jual-beli guna mendapatkan keuntungan. Ia mencakup apa saja seperti peralatan, barang-barang, pakaian, makanan, perhiasan, hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah, bangunan dan lainnya.

Para pelaku usaha saat ini mampu dan dapat memperjual-belikan dagangannya secara online maupun offline. Perdagangan dibenarkan dengan syarat antara lain tidak memperdagangkan barang haram dan tidak mengesampingkan unsur akhlak dalam bermuamalat, seperti amanah, jujur dan saling menasehati, serta tidak lupa mengingat Allah dan menunaikan hak-Nya meskipun sibuk dengan berdagang. Para pengusaha muslim wajib mengeluarkan zakatnya sebagai tanda umat manusia yang mensyukuri segala nikmat yang telah Allah berikan.

Zakat perdagangan merupakan salah satu bentuk zakat atas harta perdagangan seorang muslim. Seorang muslim wajib menunaikan zakat apabila telah cukup nisab dan haul.

para pedagang wajib mengeluarkan zakat perdagangan termasuk pebisnis pakaian ini
Sumber: unsplash.com

Dalil Kewajiban Zakat Perdagangan

Mengeluarkan zakat perdagangan merupakan kewajiban berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ 

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu ” (Q.S al – Baqarah [2]: 267)

Ulama tafsir menjelaskan bahwa maksud dari penggalan ayat min ṭayyibāt mā kasabtum (dari hasil usahamu yang baik-baik) termasuk jual beli. Bahkan Mujahid menyebutkan bahwa min ṭayyibāt mā kasabtum berasal dari perdagangan itu sendiri. Ibnu Qudamah penulis kitab al-Mugni mengatakan bahwa kewajiban zakat perdagangan ini adalah ijma’.

Baca juga: https://muhammadiyah.or.id/kacang-sacha-inchi-solusi-pemberdayaan-ekonomi-lazismu-untuk-lahan-wakaf/

Ketentuan zakat

Zakat perdagangan memiliki beberapa ketentuan seperti :

  1. Niat berdagang, dan bukan niat memiliki atas suatu harta. Suatu barang itu terkena kewajiban zakat apabila pemilik barang memiliki niat untuk memperdagangkan, bukan untuk disimpan atau dipakai sendiri. Seseorang yang membeli mobil untuk dirinya sendiri dan berniat menjualnya kembali jika mendapat keuntungan bukan termasuk harta perdagangan. Berbeda dengan seseorang yang membeli mobil untuk keperluan barang dagangan kemudian mengendarainya sendiri hingga memperoleh keuntungan kemudian menjualnya. Penggunaan mobil tidak menghilangkannya dari harta/barang dagangan.
  2. Pemilik usaha harus menjual produk yang halal. Produk yang tidak halal, baik barang maupun cara memperolehnya, tidak layak untuk dizakati. Zakat tidak akan membersihkan barang yang jelas-jelas haram.
  3. Mencapai Niṣāb. Jika barang atau modal telah mencapai nishāb, yaitu nishāb emas (20 miṡqāl/dinar atau setara dengan 85gram emas murni) atau nisāb perak (200dirham atau setara dengan 595gram perak murni), maka transaksi tersebut wajib membayar zakat.
  4. Telah berlalu satu tahun (Haul). Pedagang memiliki harta hasil – jual beli selama satu tahun hijriyah.
  5. Apabila harta perdagangan telah cukup nisab dan haul, maka pedagang harus mengeluarkan zakat.
  6. Pemilik usaha tidak wajib membayarkan zakat atas fasilitas pendukung jual-beli.
  7. Saat membayar zakat perdagangan, penilaian barang dagangan mengacu pada harga pasar pada saat itu, bukan harga pada waktu membeli dahulu. Maksud dari harga pasar pada saat akan menunaikan zakat ialah harga borong, karena dengan harga tersebut penjualan barang dapat menjadi lebih mudah laku.
  8. Pemilik usaha dapat memilih untuk mengeluarkan zakat dari harga barang  atau dari barang  itu sendiri menyesuaikan sehingga bermanfaat dan terbaik bagi mustahik (penerima zakat).
  9. Apabila perdagangan rugi, maka zakat hanya dikeluarkan dari modal apabila mencapai niṣāb dikalikan 2,5%.
pedagang di pasar juga wajib membayar zakat jika barang atau modalnya telah mencapai nisab
Sumber: unsplash.com

Baca juga: https://lebihmanfaat.com/bahagiakan-dhuafa-lazismu-mantrijeron-salurkan-115-paket-fidyah/

Perhitungan Besaran Zakat Perdagangan

Ketika waktu zakat tiba, para pengusaha muslim harus mengumpulkan semua aset (lancar) bisnisnya, modal (barang atau uang), laba bersih, tabungan, piutang dan menambahkan semua lalu mengeluarkannya zakatnya. Adapun piutang yang tidak memiliki harapan terlunasi, tidak ada kewajiban untuk membayar zakatnya. Dan apabila harus segera melunasi suatu hutang, maka hutang yang segera jatuh tempo tersebut mengurangi keseluruhan hartanya. Apabila sisa keseluruhan harta yang dimiliki mencapai niṣhab, maka pengusaha harus membayarkan zakatnya. Oleh karena itu perhitungan zakat perdagangan = modal barang  (diukur dengan uang saat cukup ḥaul) + modal uang (jika ada) +laba bersih (jika ada) + tabungan (jika ada) + piutang laba yang diharapkan (jika ada) – utang jatuh tempo (pada tahun pembayaran zakat, bukan seluruh hutang). Apabila jumlah harta objek zakat mencapai batas nishab, maka pemilik harta wajib membayarkan zakatnya sebesar 2,5% atau 1/40.

Secara ijma’ menetapkan bahwa nilai zakat perdagangan sebesar 2,5% dari nilai harta objek zakat. Besaran zakat tersebut dihitung berdasarkan tahun hijriyah atau qamariyah. Adapun saat ini, banyak usaha-usaha modern yang menjadikan tahun masehi sebagai dasar penghitungan periode keuangannya. Dan karena tahun masehi lebih banyak 11 hari daripada tahun hijriyah, maka sebagian fuqaha kontemporer berpendapat untuk merubah nilainya menjadi 2,5775% dari nilai takaran zakat.

Sumber :

  • Buku II Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI tahun 2020
  • Simposium ketujuh Bait Zakat Kuwait yang diadakan pada bulan Dzulhijjah 1417 H – Mei 1997 M